UJUNG SEPATU YANG LANCIP ATAU YANG BUNDAR

UJUNG SEPATU YANG LANCIP ATAU YANG BUNDAR Waktu Ronald Reagan (bekas presiden Amerika) masih kecil, dia dibawa oleh saudaranya untuk membuat sepatu. Tukang sepatu menanyakan kepadanya apakan dia menginginkan untuk dibuatkan sepatu yang ujungnya lancip atau yang bundar. Karena tidak bisa memutuskan, Ronald Reagan tidak menjawabnya, jadi tukang sepatunya meminta dia untuk memikirkan dahulu dan memberitahunya setelah beberapa hari. Setelah beberapa hari, tukang sepatu bertemu kembali dengan Ronald Reagan, tetapi dia masih belum bisa mengambil keputusan. Akhirnya tukang sepatunya meminta untuk dia kembali dalam waktu beberapa hari untuk mengambil sepatunya. Waktu Ronald Reagan mengambil sepatunya, ternyata tukang sepatunya membuatkan sepatu yang sebelah kiri dengan ujung yang lancip dan sebelah kanan dengan ujung yang bundar, sambil berkata, "Ini akan mengajarkan anda supaya anda jangan pernah membiarkan orang lain mengambil keputusan untuk anda." Ronald Reagan akhirnya belajar untuk bisa mengambil keputusan. Setiap dari kita tidak akan terlepas dalam mengambil keputusan dan begitu banyak keputusan yang harus kita ambil seiring dengan waktu. Kita tidak bisa meminta orang lain untuk mengambil keputusan bagi kita, tetapi kita-lah yang harus mengambil setiap keputusan yang akan membawa kita ke masa depan. Serahkan setiap kehidupan kita kepada Tuhan, dan mintalah hikmat dan tuntunan dariNya. Pada waktu kita seiring, sejalan dan sepikiran dengan Tuhan, Dia akan menuntun kita untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi masa depan kita. "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah" (Yakobus 1:5)

HUKUM KARMA

Dua orang Perempuan masing2 sedang membuat Kue..

Perempuan pertama memiliki bahan2 yang memprihatinkan :
Terigu tua yang lumutan, sehingga gumpalan2 hijaunya harus ditampi terlebih dahulu..
Mentega yang diperkaya Kolesterol yang sudah agak masam..
Dia harus menyisihkan bongkahan2 cokelat dari gula pasirnya (karena seseorang telah menyendok dengan sendok basah bekas mengaduk kopi)
Satu2nya Buah yang dipunyainya adalah Kismis purba, sekeras Uranium..
& Dapurnya bergaya 'Pra Perang Dunia' entah Perang Dunia yang mana..

Perempuan Kedua memiliki bahan2 terbaik :
Tepung terigu murni hasil cocok tanam Organik, dijamin bukan hasil rekayasa genetik..
Dia punya mentega bebas kolesterol, gula pasir & Buah2 an segar, langsung dari Kebun sendiri..
& Dapurnya adalah Dapur Mutakhir, dengan segala peralatan Modern..

Perempuan mana yang membuat Kue yang lebih enak?

Acap kali, bukan orang yang memiliki bahan2 terbaiklah yang dapat membuat Kue terbaik..
Ada yang lebih dari sekedar bahan baku..
Kadang2 orang dengan bahan2 yang mengenaskan mengerahkan segenap daya, Perhatian & Cintanya untuk memanggang kuenya,
Sehingga menghasilkan Kue yang terlezat..
Apa yang kita lakukan dengan bahan2 lah yang membuat Kue jadi berbeda..

Saya punya beberapa teman yang memiliki bahan2 yang menyedihkan dalam hidupnya :
Mereka lahir dalam kemiskinan,
Korban kekerasan terhadap anak,
Tidak pintar di sekolah,
Mungkin cacat & tidak mahir berolahraga..
Namun segelintir Kualitas yang mereka miliki diracik dengan begitu Baik,
Sehingga menghasilkan KUE yang begitu mengagumkan..
Saya betul2 mengagumi mereka..
Kenalkah Anda dengan orang2 seperti ini?

Saya juga punya beberapa teman yang memiliki bahan2 Terbaik untuk menjalani hidup mereka..
Keluarga mereka berkecukupan & penuh Kasih Sayang..
Mereka cerdas di sekolah,
Berbakat dalam Olahraga,
Berpenampilan menarik & terkenal,
Namun mereka menyia2kan masa mudanya dengan obat2 an terlarang atau alkohol..
Kenalkah Anda dengan orang2 seperti ini?

Setengah dari KARMA adalah Bahan2 yang kita miliki..
Setengah sisanya,
Bagian yang paling menentukan adalah :
Apa yang kita lakukan dengan bahan2 tersebut dalam hidup ini..

(AJAHN BRAHM)

The Doll and the Rose


I was walking around in a store. I saw a cashier hand this little boy his money back saying

"I'm sorry, but you don't have enough money to buy this doll."


Then the little boy turned to the old woman next to him:

''Granny, are you sure I don't have enough money?''


The old lady replied:

''You know that you don't have enough money to buy this doll, my dear.''


Then she asked him to stay there for 5 minutes while she went to look around. She left quickly.

The little boy was still holding the doll in his hand.


Finally, I walked toward him and I asked him who he wished to give this doll to.

"It's the doll that my sister loved most and wanted so much for this Christmas. She was so sure that Santa Claus would bring it to her."


I replied to him that may be Santa Claus will bring it to her after all, and not to worry.


But he replied to me sadly.

"No, Santa Claus can't bring it to her where she is now. I have to give the doll to my mommy so that she can give it to my sister when she goes there."


His eyes were so sad while saying this.

"My sister has gone to be with God. Daddy says that Mommy is going to see God very soon too, so I thought that she could take the doll with her to give it to my sister.''


My heart nearly stopped.


The little boy looked up at me and said:

"I told daddy to tell mommy not to go yet. I need her to wait until I come back from the mall."


Then he showed me a very nice photo of him where he was laughing. He then told me

"I want mommy to take my picture with her so she won't forget me."

"I love my mommy and I wish she doesn't have to leave me, but daddy says that she has to go to be with my little sister. "


Then he looked again at the doll with sad eyes, very quietly.


I quickly reached for my wallet and said to the boy.

"What if we checked again, just in case you do have enough money?''

"OK" he said "I hope that I have enough."


I added some of my money to his without him seeing and we started to count it. There was enough for the doll and even some spare money.


The little boy said:

"Thank you God for giving me enough money!"


Then he looked at me and added

"I asked yesterday before I slept for God to make sure I have enough money to buy this doll so that mommy can give it to my sister. He heard me!''

"I also wanted to have enough money to buy a white rose for my mommy, but I didn't dare to ask God for too much. But He gave me enough to buy the doll and a white rose.''

"My mommy loves white roses."


A few minutes later, the old lady came again and I left with my basket.

I finished my shopping in a totally different state from when I started. I couldn't get the little boy out of my mind.

Then I remembered a local newspaper article 2 days ago, which mentioned of a drunk man in a truck, who hit a car, where there was one young lady and a little girl.

The little girl died right away, and the mother was left in a critical state. The family had to decide whether to pull the plug on the life-assisting machine, because the young lady would not be able to recover from the coma.

Was this the family of the little boy?

Two days after this encounter with the little boy, I read in the newspaper that the young lady had passed away.

I couldn't stop myself as I bought a bunch of white roses and I went to the funeral home where the body of the young woman was exposed for people to see and make last wishes before burial.

She was there, in her coffin, holding a beautiful white rose in her hand with the photo of the little boy and the doll placed over her chest.

I left the place, teary-eyed, feeling that my life had been changed forever. The love that this little boy had for his mother and his sister is still, to this day, hard to imagine. And in a fraction of a second, a drunk driver had taken all this away from him.

~~~~~~~

If you sincerely expressed that prayer to God, you can know that you have a personal relationship with Him. He will be your comfort in these troubled times. God promises us "peace that passes understanding" in other words peace in a world that doesn't make sense. You can know peace and hope even when your world is in turmoil. God does not change. Ever.



Author : Unknow; Source : Yan's Notes

Kehidupan Sang Elang




Elang merupakan jenis unggas yang mempunyai umur paling panjang didunia.Umurnya dapat mencapai 70 tahun. Tetapi untuk mencapai umur sepanjang itu seekor elang harus membuat suatu keputusan yang sangat berat pada umurnya yang ke 40.

Ketika elang berumur 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruhnya menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Sayapnya menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal, sehingga sangat menyulitkan waktu terbang. Pada saat itu, elang hanya mempunyai dua pilihan: Menunggu kematian atau Mengalami suatu proses transformasi yang sangat menyakitkan. Suatu proses transformasi yang panjang selama 150 hari.

Untuk melakukan transformasi itu, elang harus berusaha keras terbang keatas puncak gunung untuk kemudian membuat sarang ditepi jurang , berhenti dan tinggal disana selama proses transformasi berlangsung.

Pertama-tama, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari mulutnya, kemudian berdiam beberapa lama menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yang baru tumbuh itu, ia harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan ketika cakar yang baru sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu proses yang panjang dan menyakitkan.

Lima bulan kemudian, bulu-bulu elang yang baru sudah tumbuh. Elang mulai dapat terbang kembali. Dengan paruh dan cakar baru, elang tersebut mulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan penuh energi!

Dalam kehidupan kita ini, kadang kita juga harus melakukan suatu keputusan yang sangat berat untuk memulai sesuatu proses pembaharuan. Kita harus berani dan mau membuang semua kebiasaan lama yang mengikat, meskipun kebiasaan lama itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan melenakan. Kita harus rela untuk meninggalkan perilaku lama kita agar kita dapat mulai terbang lagi menggapai tujuan yang lebih baik di masa depan. Hanya bila kita bersedia melepaskan beban lama, membuka diri untuk belajar hal-hal yang baru, kita baru mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kita yang terpendam, mengasah keahlian baru dan menatap masa depan dengan penuh keyakinan.

Halangan terbesar untuk berubah terletak di dalam diri sendiri dan Andalah sang penguasa atas diri Anda.

Jangan biarkan masa lalu menumpulkan asa dan melayukan semangat kita. Anda adalah elang-elang itu. Perubahan pasti terjadi. Maka itu, kita harus berubah!

God Bless You !

Kesabaran Dalam Doa


Mana kala apa yang kita pikirkan tidak tepat, TUHAN berkata, "TIDAK."
Tidak - kala pemikiran itu bukan pemikiran yang terbaik
Tidak - kala pemikiran itu sama sekali salah
Tidak - walaupun pemikiran tersebut mungkin saja dapat menolongmu, namun juga akan menimbulkan masalah bagi orang lain

Mana kala waktunya tidak tepat, TUHAN berkata, "PERLAHANLAH."
Apa jadinya kelak bila TUHAN menjawab setiap doa secepat kita menjentikkan jari-jari kita? Tahukah engkau apa yang akan terjadi?
Tuhan akan menjadi hambamu, bukan Tuanmu.
Tiba-tiba saja TUHAN mengabdi kepadamu, bukan engkau yang mengabdi
kepada-NYA.

Mana kala engkau berbuat kesalahan, TUHAN berkata, "BERTUMBUHLAH."
Orang yang mementingkan dirinya sendiri harus bertumbuh di dalam ketidak-egoisan.
Orang yang terlalu berhati-hati harus bertumbuh di dalam keberanian.
Orang yang suka menguasai orang lain harus bertumbuh di dalam kepekaan.
Orang yang senang mencela harus bertumbuh didalam tenggang rasa.
Orang yang selalu berpikiran negatif harus bertumbuh di dalam sikap positif.

Orang yang senang mencari kepuasan jasmani harus bertumbuh di dalam berbagi rasa dengan orang-orang yang menderita.

Mana kala semuanya telah benar, TUHAN berkata, "PERGILAH."
Mukjizat terjadi:
Pecandu berat alkohol dilepaskan.
Pecandu obat bius menemukan kebebasannya.
Yang ragu-ragu menjadi percaya layaknya seorang anak kecil.
Jaringan tubuh yang terkena penyakit mulai menjadi sembuh karena pengobatan.

Pintu yang menuju ke arah impianmu tiba-tiba terbuka dan berdirilah Tuhan di sana sambil berkata, "PERGILAH!"

Ingatlah:
Penundaan oleh TUHAN bukan berarti pengingkaran janji TUHAN.
Waktunya TUHAN sempurna adanya.
Kesabaran adalah yang kita perlukan dalam berdoa.

TUHAN Memberkati


Oleh: Joe Gatuslao


Little Moments Of Joy

Twenty years ago, I drove a cab for a living. It was a cowboy’s life, a life for someone who wanted no boss. What I didn’t realize was that it was also a ministry.

Because I drove the night shift, my cab became a moving confessional. Passengers climbed in, sat behind me in total anonymity, and told me about their lives. I encountered people whose lives amazed me, ennobled me, made me laugh and weep.

But none touched me more than a woman I picked up late one August night.

I was responding to a call from a small brick fourplex in a quiet part of town. I assumed I was being sent to pick up some partiers, or someone who had just had a fight with a lover, or a worker heading to an early shift at some factory for the industrial part of town.

When I arrived at 2:30 a.m., the building was dark except for a single light in a ground floor window. Under these circumstances, many drivers would just honk once or twice, wait a minute, then drive away. But I had seen too many impoverished people who depended on taxis as their only means of transportation. Unless a situation smelled of danger, I always went to the door. This passenger might be someone who needs my assistance, I reasoned to myself. So I walked to the door and knocked.

“Just a minute,” answered a frail, elderly voice. I could hear something being dragged across the floor. After a long pause, the door opened. A small woman in her 80s stood before me. She was wearing a print dress and a pillbox hat with a veil pinned on it, like somebody out of a 1940’s movie.

By her side was a small nylon suitcase. The apartment looked as if no one had lived in it for years. All the furniture was covered with sheets. There were no clocks on the walls, no knickknacks or utensils on the counters. In the corner was a cardboard box filled with photos and glassware.

“Would you carry my bag out to the car?” she said.

I took the suitcase to the cab, then returned to assist the woman. She took my arm and we walked slowly toward the curb. She kept thanking me for my kindness.

“It’s nothing,” I told her. “I just try to treat my passengers the way I would want my mother treated.”

“Oh, you’re such a good boy,” she said.

When we got in the cab, she gave me an address, then asked, “Could you drive through downtown?”

“It’s not the shortest way,” I answered quickly.

“Oh, I don’t mind,” she said. “I’m in no hurry. I’m on my way to a hospice.”

I looked in the rear view mirror. Her eyes were glistening. “I don’t have any family left,” she continued. “The doctor says I don’t have very long.”

I quietly reached over and shut off the meter. “What route would you like me to take?” I asked.

For the next two hours, we drove through the city. She showed me the building where she had once worked as an elevator operator. We drove through the neighborhood where she and her husband had lived when they were newlyweds. She had me pull up in front of a furniture warehouse that had once been a ballroom where she had gone dancing as a girl. Sometimes she’d ask me to slow in front of a particular building or corner and would sit staring into the darkness, saying nothing.

As the first hint of sun was creasing the horizon, she suddenly said, “I’m tired. Let’s go now.”

We drove in silence to the address she had given me. It was a low building, like a small convalescent home, with a driveway that passed under a portico. Two orderlies came out to the cab as soon as we pulled up. They were solicitous and intent, watching her every move. They must have been expecting her. I opened the trunk and took the small suitcase to the door. The woman was already seated in a wheelchair.

“How much do I owe you?” she asked, reaching into her purse.

“Nothing,” I said.

“You have to make a living,” she answered.

“There are other passengers,” I responded.

Almost without thinking, I bent and gave her a hug. She held onto me tightly.

“You gave an old woman a little moment of joy,” she said. “Thank you.”

I squeezed her hand, then walked into the dim morning light. Behind me, a door shut. It was the sound of the closing of a life.

I didn’t pick up any more passengers that shift. I drove aimlessly, lost in thought. For the rest of that day, I could hardly talk. What if that woman had gotten an angry driver, or one who was impatient at the end his shift? What if I had refused to take the run, or had honked once, then driven away?

On a quick review, I don’t think that I have done anything more important in my life. We’re conditioned to think that our lives revolve around great moments. But great moments often catch us unaware–beautifully wrapped in what others may consider a small one.

People may not remember exactly what you did, or what you said, …but they will always remember how you made them feel.

~ Story by Barry Kingsley ~



Source : Yan's Notes

Tuhan Berbicara


Seorang Manusia berbisik, "Tuhan, bicaralah padaku."

Dan burung kutilang pun bernyanyi.
Tapi, manusia itu tidak mendengarkannya.

Maka, Manusia itu berteriak, "Tuhan, bicaralah padaku !"
Dan guntur dan petir pun mengguruh.
Tapi, Manusia itu tidak mendengarkannya.

MAnusia itu melihat sekelilingnya dan berkata,
"Tuhan, biarkan aku melihat Engkau."
Dan bintang pun bersinar terang.
Tapi, Manusia itu tidak melihatnya.

Dan, Manusia berteriak lagi, "Tuhan, tunjukkan aku keajaiban!" Mu"
Dan seorang bayi pun lahirlah.
Tapi, manusia itu tidak menyadarinya.

Maka, ia berseru lagi dalam keputus-asaannya, "Jamahlah aku, Tuhan!"
Dan segera, Tuhan pun turun dan menjamahnya.
Tapi, manusia itu malah mengusir kupu-kupu tersebut dan terus berjalan.

Betapa hal ini semua sebenarnya mengingatkan pada kita
bahwa Tuhan selalu hadir di sekitar kita dalam bentuk
sederhana dan kecil yang sering kita anggap lalu, bahkan dalam era elektronik ini ...
karenanya saya ingin menambahkan satu lagi:

Manusia itu berseru, "Tuhan, aku membutuhkan pertolonganmu!"
Dan datanglah e-mail dengan berita-berita baik dan menguatkan.

Namun, ia justru menghapusnya dan terus berkeluh-kesah....

Berita baik itu adalah bahwa anda masih dicintai orang lain !

Janganlah kita mencampakkan suatu anugerah, hanya karena anugerah itu tidak dikemas dalam bentuk yang diinginkan dan dimengerti oleh kita